Gereja Kristus Raja Paroki Baciro

Jl. Melati Wetan No.47, Baciro, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55225

ROMO MENJAWAB

“Romo, bagaimanakah “Kesepakatan Perkawinan” menjadi penentu sahnya perkawinan Katolik?”

Berdasarkan sebuah pertanyaan, “apa saja yang menjadikan sebuah kesepakatan perkawinan dapat dinyatakan batal atau tidak sahnya sebuah perkawinan”
Menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang berkaitan dengan “kesepakatan nikah” menjadi syarat perkawinan merupakan bagian dari salah satu unsur penting dari sebuah perkawinan. Dalam hal ini, ada Kanon 1101 § 1 dan 1101 §2 memberikan penjelasan terkait dengan sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
Kanon 1101 § 1 – kesepakatan batin dalam hati diandaikan sesuai dengan kata-kata atau isyarat yang dinyatakan dalam merayakan perkawinan

§ 2 – Tetapi jika salah satu atau kedua pihak dengan Tindakan positif kemauannya mengecualikan perkawinan itu sendiri, atau salah satu unsur hakiki perkawinan, atau salah satu proprietas perkawinan yang hakiki, ia melangsungkan perkawinan dengan tidak sah

Kesepakatan nikah harus muncul sebagai keputusan yang benar, yaitu ada kesesuaian antara sisi lahir dan sisi batin. Artinya, apa yang dinyatakan secara lahiriah dalam bentuk kesepakatan atau perjanjian nikah itu tidak hanya pura-pura saja (simulatsio atau consensus fictus), namun merupakan sesuatu yang keluar dari kehendak dan keinginan hati. Maka, ungkapan kesepakatan secara lahiriah hanya mempunyai arti dan efek yuridis jika memang merupakan ungkapan kehendak batinnya.

Kesepakatan batin itu paling tidak diandaikan oleh hukum, sampai terbukti kebalikannya. Maka jika terjadi ketidaksesuaian antara keduanya, muncullah apa yang dinamakan simulatio atau kepura-puraan, yang menyebabkan perkawinan tidak sah.

Kanon 1101 § 2 membedakan simulation ini dalam 2 jenis yaitu

a.Simulatio totalis : simulation total ini terjadi apabila minimal salah satu dari pasangan dengan positif mengecualikan perkawinan itu sendiri. Dalam hal ini, yang bersangkutan mengatakan “ya” atas perkawinan, namun hatinya menyatakan menolak atas perkawinan itu sendiri. Contohnya, mau menikah hanya agar mendapatkan jatah transmigrasi atau supaya tidak dikeroyok masa orang-orang kampung atau agar anak dalam kandungan nantinya lahir bukannya tanpa ayah.

Simulatio parsialis : simulation parsialis atau simulation sebagian ini muncul apabila yang bersangkutan sebenarnya menghendaki perkawinan itu sendiri, namun sekaligus dengan kemauan positif mengecualikan salah satu unsur hakiki perkawinan (misalnya hak atas persetubuhan, hak atas persekutuan hidup bersama, dan tujuan perkawinan) atau salah satu sifat hakikat perkawinan (kesetiaan atau unitas dan indissolubilitas). Penolakan secara positif terhadap sesuatu yang sangat esensial bagi perkawinan ini, tentu saja menghancurkan kesepakatan yang telah diucapkannya karena kesepakatan eksternal tersebut tidak sesuai dengan sisi batinnya.

Demikian yang menjadi penjelasan bahwa kesepakatan nikah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari unsur penting sebuah perkawinan. Harapannya seorang baik, pria maupun perempuan memiliki kesungguhan lahir dan batin sehingga membuahkan kebahagiaan seperti yang diharapkan.

Semoga membantu dan Berkah Dalem