“Bagi yang mengetahui Halangan Perkawinan wajib lapor Romo Paroki……”

Kita sering mendengar ketika diumumkan perkawinan orang Katolik disebutkan bahwa “bagi mereka yang tahu halangan perkawinan bagi mereka, mohon melaporkan kepada Romo Paroki”. Sering muncul pertanyaan dalam benak kita, apa dan seperti apakah bentuk halangan yang bisa menggagalkan perkawinan jika perkawinan tersebut hendak dilangsungkan. Pada tulisan ini, saya ingin memaparkan dalam beberapa sesi berkaitan dengan halangan perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik  (KHK 1983).

Pengertian halangan nikah menurut Kitab Hukum Kanonik 1983 hanya mengenal halangan yang sifatnya menggagalkan perkawinan (impedimenta dirimentes). Kanon 1073 membuka seluruh rangkaian norma yang mengatur halangan nikah. Kanon itu berbunyi: “Halangan yang menggagalkan membuat seseorang tidak mampu untuk menikah secara sah”. Dengan ketentuan ini, semua halangan nikah yang termuat dalam Kanon 1083 – 1094 termasuk dalam kategori leges inhabilitantes, yakni undang-undang yang menjadikan orang tidak mampu (incapaces) melakukan tindakan yuridis perkawinan (Kanon. 10). Seseorang dikatan memiliki kemampuan untuk menikah (capacitas nubendi) kalau ia memiliki kemampuan kodrati (capacitas naturalis) dan kemampuan yuridis (capacitas iuridica) untuk menikah. Halangan-halangan nikah dapat menyentuh kapasitas natural dan kapasitas yuridis tersebut.

Halangan nikah dari hukum (ilahi) kodrati dan halangan dari hukum gerejawi merupakan dua hukum yang dipergunakan untuk melihat pribadi yang akan menikah sungguh-sungguh berstatus bebas dari kedua halangan tersebut. Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi kalau halangan itu bersumber dari hukum kodrat, yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya di dalam hakikat dan martabat manusia (hukum ilahi kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukannya ke dalam KHK adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. Kanon 1075).

Sedangkan halangan dari hukum gerejawi ialah halangan yang diciptakan oleh otoritas gerejawi. Gerejawi, yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan, memiliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya sendiri dari Kristus, yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (Kanon 114 § 1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya, karena keselamatan jiwa-jiwa adalah norma hukum tertinggi (Kanon 1752).

Halangan nikah yang bersumber dari penetapan kuasa legislatif Gereja pada umumnya juga disebut halangan nikah yang sifatnya semata-mata gerejawi. Menurut doktrin umum, halangan-halangan yang bersumber dari hukum ilahi, kodrati, ialah:

  1. Impotensi seksual yang bersifat tetap (Kanon 1084)
  2. Ikatan perkawinan sebelumnya (Kanon 1085)
  3. Hubungan darah dalam garis lurus baik ke atas maupun ke bawah (Kanon 1091 § 1)

Sedangkan halangan-halangan yang bersumber dari hukum gerejawi atau yang bersifat semata-mata gerejawi ialah:

  1. Halangan umur (Kanon 1083)
  2. Halangan beda agama (Kanon 1086)
  3. Halangan tahbisan suci (Kanon 1087)
  4. Halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (Kanon 1088)
  5. Halangan penculikan (Kanon 1089)
  6. Halangan kriminal coniugidicio (Kanon 1090)
  7. Halangan hubungan darah garis menyamping (Kanon 1091 § 2)
  8. Halangan hubungan semenda (Kanon 1092)
  9. Halangan kelayakan publik (Kanon 1093)
  10. Halangan pertalian hukum (Kanon 1094)

Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi yuridis yang sangat besar.

Halangan-halangan yang bersumber dari hukum ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis. Sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya (Kanon 11 dan Kanon 1059).

Halangan yang bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi. Sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi bisa didispensasi oleh otoritas gerejawi yang berwenang, dengan memenuhi ketentuan undang-undang mengenai pemberian dispensasi (Kanon 85 – 93).

Dengan semakin memahami apa saja yang menjadi halangan-halangan dari sebuah perkawinan, kita mampu melihat dan membantu para Romo di Paroki ketika kita mengetahui diantara pasangan yang diumumkan di Gereja terdapat halangan dari antara diatas. Maka kita dapat melaporkannya kepada Romo Paroki tanpa takut lagi karena Romo Paroki pasti akan merahasiakan bagi mereka yang melaporkan adanya halangan tersebut.

Semoga membantu.

Berkah Dalem