Semangat Melayani
Setiap anggota Gereja memiliki hak sekaligus tanggungjawab untuk melayani sesama. Tetapi di sisi lain, Tuhan yang mewujud nyata dalam Gerejas ebagai persekutuan umat Allah tidak pernah memaksa umatnya atau anggotanya untuk terlibat aktif secara konkrit dalam setiap gerak Langkah pelayanan Gereja. Setiap anggota persekutuan memiliki kebebasan penuh untuk mau terlibat aktif atau tidak dalam berbagai aktifitas menggereja tersebut. Dengan kata lain keterlibatan atau keaktifan seseorang dalam kegiatan menggereja ditentukan secara bebas oleh orang itu sendiri, secara sukarela, dan tanpa paksaan.
Bagi setiap orang yang memiliki niat dan keinginan untuk terlibat aktif dalam kegiatan menggereja harus memiliki kesadaran atas sifat sukarela ini. Juga harus siap dengan berbagai konsekuensi dalam berdinamika bersama dengan seluruh umat yang dilayani, yang memiliki berbagai sifat dan karakter. Di sisi lain, ia juga harus siap untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan juga finansial. Kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut yang seringkali membuat mereka yang berniat aktif harus mundur teratur karena adanya berbagai konflik pribadi yang berbenturan dengan berbagai kepentingan.
Menjadi aktivis di Gereja harus siap untuk“dipaido” (dicurigai), “dirasani” (digunjingkan), “disepelekke” (disepelekan), bahkan difitnah. Harus siap pula menjadi keranjang sampah dari keluhan umat tentang apa saja yang menjadi kebijakan Gereja. Dengan berbagai “tantangan” ini, maka memang tidak mudah menjadi aktivis gereja. Jika tidak siap betul dari sisi mental, kemungkinan tidak akan bertahan lama. Dan konflik akan semakin mudah meruncing bagi para aktivis yang sudah berkeluarga jika suasana kebatinan di dalam keluarganya tidak kondusif. Pengaruh dari pasangan (suami/istri) biasanya sangat kuat dan dominan. Namun sebenarnya jika bias membangun kekompakan dan kesamaan persepsi terhadap pelayanan yang dilakukan di Gereja dengan pasangan, semua akan baik-baiksaja, bahkan akan memiliki energi yang berlipat-lipat. Tetapi jika tidak punya pandangan yang sejalan, yang ada hanya memunculkan bibit konflik di dalam rumah tangga. Fakta konkrit-nyata konflik yang terjadi karena salah satu dari anggota keluarga (ayah/Ibu/Anak) menjadi aktivis di Gereja ini sudah sering terjadi, bahkan ada yang menjadi cukup parah dan mengancam keutuhan sebuah keluarga.
Maka agar keluarga-keluarga yang memiliki niat untuk terlibat aktif dalam kegiatan menggereja dapat terhindar dari konflik rumah tangga yang sebenarnya tidak perlu terjadi, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan:
- Kesadaran akan Kedudukan Keluarga sebagai Ecclesia Domestica
Langkah awal untuk membangun niat aktif dalam kegiatan menggereja adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa setiap Keluarga adalah Gereja Rumah tangga atau Ecclesia Domestica. Artinya, Gereja sebagai persekutuan umat Allah dibangun oleh kumpulan keluarga-keluarga. Dengan kata lain, keluarga sebagai ecclesia domestica merupakan pondasi utama yang menentukan kokoh tidaknya sebuah persekutuan umat yang terdiri darikeluarga-keluarga tersebut. Jika keluarga-keluarga Kristianinya kuat, maka otomatis Gerejanya juga akan kuat, dan sebaliknya.
- Menyamakanpandangantentangaktivisgereja
Setiap pasangan suami-istri yang ingin menjadi aktivis Gereja harus memiliki persepsi dan motivasi yang sama tentang aktivitasnya di gereja. Beberapa persepsi dan motivasi yang sebaiknya dibangun:
- Menjadi aktivis sebaiknya dengan kesadaran penuh dan tanpa
- Menjadi aktivis bukan pertama-tama untuk mencari eksistensi
- Menjadi aktivis bukan untuk mendapatkan keuntungan materi/finansial.
- Menjadi aktivis bukan untuk mendapatkan kewenangan/kekuasan/keistimewaan
- Menjadi aktivis bukan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan.
- Siap dengan berbagai konsekuensi
Disamping menyamakan persepsi dan motivasi, pasangans uami istri yang berniat menjadi aktivis juga harus siap dengan berbagai konsekuensi yang sering kali menurunkan bahkan mematikan motivasi. Beberapa konsekuensi yang harus siap dihadapi antara lain:
- Menyita waktu pribadi dan keluarga.
- Membutuhkan pemikiran ekstra untuk beberapa hal yang bahkan tidak ad ahubungan nya dengan kita secara
- Butuh energie kstra dan kesiapan fisik yang prima.
- Harus selalu menjaga sikap dan tingkah laku yang baik.
- Harus siap dinilai oleh umat segala sikap dan tingkah
- Mampu mengendalikan emosi (tidak “mutungan”)
- Motivasi utama adalah Ucapan Terimakasih
Berdasarkan pengalaman saya selama sekian tahun memberikan diri menjadi aktivis Gereja, satu hal yang membuat kami (saya dan keluarga) merasa ringan hati dan seolah tanpa beban adalah karena kami sepakat memaknai niat kami itu sebagai bentuk ucapan terimakasih kami atas segala kebaikan dan anugerah yang sudah diberikan kepada kami yang sangat luar biasa, bahkan ketika kami tidak memintanya sekalipun. Motivasi inilah yang selalu menguatkan kami. Segala omongan, gunjingan, kritikan, kami jadikan juga motivasi untuk terus berbenah diri, dan bukan “mutung” lalu menghilang dari peredaran.
Namun ada fakta lain. Nyatanya, ada banyak aktivis yang merasa keberadaannya sebagai aktivis bukan karena niatnya yang murni, namun karena dijebak, dikerjain, atau bahkan dipaksa. Aktivis yang sepert ini biasanya akan mudah “mundur” teratur jika merasa “tersakiti”. Yang lebih ekstrim bahkan ada aktivis yang merasa keberadaannya sangat dibutuhkan oleh gereja. Jika merasa tersakiti mereka biasanya menyampaikan niat mundurnya dengan ancaman-ancaman, seolah-olah tanpa keberadaannya aktivitas yang ditanganinya akan mengalami kekacauan. Untuk menjadi seorang aktivis gereja, semangat rendah hati harusnya menjadi yang dominan. Persepsi “gereja membutuhkan kita”harus dibuang jauh-jauh. Yang lebih tepat, kitalah yang membutuhkan Gereja dan Tuhan untuk menyelamatkan hidup kita melalui pelayanan kita kepada Tuhan melalui sesama.
Beberapa teman pernah mengatakan: “Mohon maaf, aku tidak bias terlibat menjadi aktivis Gereja secara fisik, karena waktuku sudah habis untuk mengurusi pekerjaanku. Tapi kalo Gereja butuh dukungan dana, aku siap membantu sesuai kemampuanku.”
Tidak bisa dipungkiri untuk mengelola sebuah Gereja memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kerelaan setiap anggota Gereja untuk mempersembahkan sebagian dari rejekinya untuk Gereja memang sangat dibutuhkan. Tetapi jika Sebagian besar umat berpikir bahwa keikutsertaanya dalam aktivitas menggereja cukup diwakili oleh dana yang ia persembahkan kepada Gereja, lalu siapa yang akan mengelolanya? Gereja sebagai sebuah persekutuan pada dasarnya membutuhkan kehadiran dan keterlibatan setiap pribadi dalam berbagai dinamikanya. Kehadiran dari setiap anggota persekutuan akan semakin saling menguatkan sebagai sebuah persekutuan, keluarga, maupun dari sisi iman.
Gereja sebagai sebuah persekutuan akan menemukan maknanya yang sesungguhnya saat semua anggotanya menyediakan diri untuk terlibat – sekecil apapun – untuk saling melayani sebagai anggota persekutuan maupun sebagai ciptaanTuhan yang tidak mungkin hidup sendiri. Semangat melayani menjadi kunci untuk terus terlibat tanpa pamrih. Setiap keterlibatan kita di Gereja semata-mata hanya untuk memuliakanTuhan melalui sesama. (AWA)
Pingback: Mengapa Harus Ikut SINODE? – Gereja Kristus Raja Paroki Baciro