Menjadi Anak yang Religius
(Bagian 1)
“Tulisan ini terinspirasi dari buku karya Rama Y.B. Mangunwijaya berjudul Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak terbitan Kompas”
“Alam yang indah merupakan “lorong”atau “jejak” yang membawa anak-anak merasakan kehadiran dan kebesaran Allah”. Kutipan diatas dari buku Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak, menegaskan bahwa sikap religius haruskah ditimbuhkan sejak dini. Orangtua mulai memperkenalkan anak-anak tentang khadiran Tuhan melalui hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Religiusitas seringkali disamakan dengan agama, meskipun sebenarnya kedua hal ini berbeda. Orang beragama seharusnya sekaligus menjadi orang yang religius. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan dan hukum, tafsir kitab serta keseluruhan organisasinya. Religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, getaran hati nurani, sikap personal seseorang yang terkadang menjadi misteri bagi orang lain. Pada dasarnya religiositas lebih luas dan dalam dari agama yang cenderung bersifat formal dan resmi. Contohnya sikap-sikapreligius seperti membungkuk, berlutut, berdiri hormat tidak hanya digunakan oleh agama tertentu dalam tata ibadatnya, namun oleh banyak agama.
Menurut Rama Tom Jacobs, religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) namun dalam pengalaman, penghayatan, namun tidak terbatas pula pada perasaan atau afektifitas. Religiositas manusia yang manusiawi adalah kesadaran untuk beramal, menolong orang lain, teristimewa orang yang miskin dan menderita. Religiositas khususnya sebagai iman personal diungkapkan dalam agama dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mulai kapankah sikap religius bisa ditumbuhkan? Menurut Rm Mangun, sikap religius ditumbuhkan sejak anak-anak, bahkan sejak didalam kandungan. Bahkan sejak persiapan sebelum dikandung, proses pendidikan religiositas anak harus mulai dipersiapkan. Mendidik diartikan sebagai menghormati dan menghargai, maka guru atau orangtua yang paling berhasil adalah mereka yang mampu dan mulai menghormati serta menghargai anak atau anak didiknya.
Menunjukan suasana bahwa anak sungguh berharga dan merasa dihargai adalah awal dari pendidikan religiositas. Anak yang merasa dihargai, merasa hidupnya bermakna, akan mulai membuka hati anak bahwa dia juga harus menghargai dirinya sendiri, orangtua dan orang lain di sekitarnya, alam sekitar dan juga Allah Sang Penciptanya.
Bagaimana orangtua bersikap dalam pendidikan religius, tidak perlu harus bersikap seperti pemuka agama, namun cukup bersikap biasa saja, dengan menjalani hidup normal, sehat, dan seimbang. Dalam kehidupan sehari-hari ini, anak mulai diperkenalkan memiliki rasa menghargai dan tanggungjawab. Meskipun tanggungjawab sehari-hari di rumah seringkali tidak ada sangkutpautnya dengan kehidupan rohani,namun proses ini merupakan sarana anak menggembangkan rasa religiositasnya.
Berdasarkan perkembangan anak, pendidikan religiositas dalam keluarga akan lebih banyak terjadi dalam bentuk teladan bukan pengajaran. Teladan merupakan peragaan hidup baik secara riil. Anak memulai perkembangan dirinya dengan menjadi peniru, maka apa yang ditunjukkan orangtua pada awal usia hidup anak akan menjadi hal yang akan dilakukan oleh anak. Oleh karenanya, dalam pendidikan religositas sangatlah penting keluarga menjadi teladan baik bagi anak-anak yang hidup dalam keluarga tersebut.
Ditulis oleh: Bonifatius Aditya Kurniawan
Referensi:
Tom Jacobs SJ, Paham Alah: Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, Kanisius, 20o2
Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak, Kompas, 2020