Lagu dan Gending Jawa dalam Perayaan Ekaristi Malam Satu Suro 1958 di Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta
Beberapa Gereja Katolik di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta diketahui telah sejak puluhan tahun lalu menyelenggarakan perayaan ekaristi terkait dengan malam satu suro. Diselenggarakan mulai tahun 2011 dan rutin pada tahun-tahun berikutnya, kemudian sempat terhenti pada masa pandemi covid; Misa Malam Satu Suro diselenggarakan lagi di Gereja Katolik Kristus Raja Baciro Yogyakarta pada 2022.
Seusai penyelenggaraan Misa Malam Satu Suro (1958) pada 6 Juli 2024 lalu, Rm. Andreas Novian Ardi Prihatmoko, Pr., Pastor Paroki Baciro, mengungkapkan bahwa Misa ini menjadi bentuk syukur bersama atas karunia dan penyertaan Tuhan, sekaligus mengobati kerinduan umat akan misa menggunakan bahasa Jawa, dan upaya untuk melestarikan budaya Jawa.
Misa Malam Satu Suro (1958) di Gereja Baciro diikuti oleh umat, yang sebagian besar mengenakan pakaian tradisional Jawa. Pula imam yang memimpin misa dan para petugas liturgi yang terlibat; putra altar, prodiakon, lektor, pemazmur, hingga kelompok paduan suara dan pengiring musik. Semua bacaan Kitab Suci, homili, dan lagu-lagu dibawakan dalam Bahasa Jawa.
Pilihan lagu dan ordinarium diambil dari Kidung Adi; seperti ‘Andher Pra Abdi’, ordinarium ‘Mis Kratoning Allah’, ‘Mangga Gusti Karsaa Nampi’, ‘Rama Kawula’, ‘Amba Asih Mring Pangeran’, dan ‘Dak Sawang Mareming Ati’. Gabungan anak dan remaja mengiringi lagu-lagu Misa ini dengan gamelan Jawa. Agustinus Windu Aji (akrab dipanggil Pak Windu), kepala sekolah SD Eksperimental Mangunan Go, mendampingi kelompok penabuh ini. Sebelas orang ikut menabuh gamelan, dengan masing-masing alat musik yang dimainkan; bonang barung, bonang penerus, kendang, saron, peking, gendèr, kenong, kempul, dan gong. Penabuh termuda di kelompok ini merupakan siswa kelas 1 SMP, dan tertua mahasiswa semester dua. Dua pemain dewasa ikut mendampingi; Pak Windu memainkan kendang, dan gendèr ditabuh oleh Pak Herman.
Dalam persiapan dan pelaksanaan mengiringi Misa ini, diakui oleh Pak Windu bahwa waktu berlatih menjadi kendala utama. Kemauan anak-anak (para penabuh gamelan) untuk mencocokkan jadwal, bertemu, dan berlatih bersama di waktu senggang menjadi kunci utama untuk mengatasi kendala ini. Di samping itu, mengingat pada umumnya iringan gamelan tidak dapat berdiri sendiri atau dimainkan secara solo; berbagai tantangan juga harus dihadapi saat bermain gamelan. Tantangan ini di antaranya; perbedaan antar pemain mengenai persepsi hitungan atau ketukan nada dalam suatu lagu (gending) yang berpengaruh pada irama dan harmonisasi. Tantangan lainnya ialah perbedaan pemain gamelan dalam cara dan kekuatan memukul (menabuh) masing-masing alat musik yang menyebabkan ketidakseimbangan volume. Dengan demikian, frekuensi (banyaknya) latihan, terlebih latihan bersama akan sangat menentukan kelancaran, kesamaan penjiwaan, dan keselarasan permainan gamelan. Seperti dikatakan Pak Windu, “Mungkin karena sudah beberapa tahun kami latihan bersama, jadi semakin bisa sama-sama merasakan, sehingga iringan misa malam satu sura tahun ini lebih baik dan lancar daripada sebelum-sebelumnya.” Pak Windu pun berharap ada lebih banyak generasi muda Jawa yang mau berlatih dan bermain gamelan Jawa, sehingga identitas dan budaya asal tidak hilang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Misa Malam Satu Suro di Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta pada 6 Juli 2024 dapat dilihat di kanal resmi tim multimedia Gereja Baciro; Crembo Media, melalui pranala https://www.youtube.com/live/misYe6qQuCs?si=TbjjlZh1Ehh3KBM7
Penulis: Maria Satya Rani (Tim Pelayanan Musik-Bidang Liturgi dan Peribadatan, Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta)
(Artikel asli diterbitkan di ‘Warta Musik’, Media Komunikasi Dwi Bulanan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, Edişi 05/2024)