Profil Paroki Kristus Raja Baciro
Cakruk yang Mengembangkan
Paroki Kristus Raja Baciro terletak di Jl. Melati Wetan 47 Yogyakarta 55225 dengan wilayah pengembalaan yang meliputi beberapa Kelurahan di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.Paroki Kristus Raja Baciro memiliki batas wilayah secara pemerintahan sebagai berikut, di sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Catur Tunggal, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, di sebelah Barat berbatasan dengan Kali Manunggal, di
sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Rejowinangun Kemantren Kotagede, Sebagian Kelurahan Muja-Muju, dan Kelurahan Pandean Kemantren Umbulharjo.
Paroki Kristus Raja Baciro memiliki batas wilayah secara Gerejawi, di sebelah Utara berbatasan dengan Paroki St. Yohanes Rasul Pringwulung dan Paroki St. Maria Assumpta Babarsari, di sebelah Timur berbatasan dengan Paroki St. Mikhael Pangkalan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Paroki St. Yusuf Bintaran dan Paroki St. Paulus Pringgolayan, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Paroki St. Antonius Kotabaru.
Agar tugas penggembalaanlebih tertata dan terukur, area Paroki Baciro dibagi menjadi 6 (enam) wilayah, yaitu Wilayah 1 – St.Stefanus, Wilayah 2 – St. Frederikus, Wilayah 3 – St. Gregorius Agung, Wilayah 4 – St. Alexander, Wilayah 5 – St. Genoveva, dan Wilayah 6 – St. Andreas Corsini. Setiap wilayah dibagi menjadi 7 s.d. 8 Lingkungan. Sehingga jumlah keseluruhan lingkungan di Paroki Baciro sebanyak 43 Lingkungan, dan jumlah umat sekitar 3.800 orang.
Saat ini Pastor Paroki yang berkarya di Paroki Baciro adalah Rm. Fransiscus Xaverius Alip Suwito, Pr., dibantu oleh Rm. Antonius Wahadi Martaatmaja, Pr., dan Rm. Yohanes Sigit Haryanto, Pr. Ketiga Pastor ini bersama dengan seluruh anggota Dewan Pastoral Paroki, berkarya mendampingi umat dengan berbagai bentuk aktivitas kegiatan yang berorientasi pada pengembangan iman, paguyuban, ekonomi kerakyatan, pelayanan bagi KLMTD, dan “srawung” di tengah masyakat.
Jika Anda berkunjung ke Gereja Kristus Raja Baciro Yogyakarta, saat masuk ke pintu gerbangnya, Anda akan disambut sebuah bangunan joglo di sebelah kanan. Kemudian saat memasuki halamannya, Anda akan menemukan ada 4 buah cakruk (semacam Gardu Ronda) yang di tempatkan di sudut-sudut halaman gereja. Ada yang ditempatkan persis di depan pastoran, ada juga yang di sisi barat halaman gereja. Beberapa orang yang pertama kali berkunjung biasanya akan bertanya, “Untuk apa ada cakruk di halaman gereja? Apakah tidak mengganggu pemandangan megahnya bangunan gereja? Mengapa tidak dibuat saja tempat duduk terbuka yang fungsinya kurang lebih sama, yaitu untuk duduk-duduk umat sembari menunggu jemputan atau menunggu misa dimulai?”
Lebih dari 10 tahun yang lalu, ketika bangunan gereja Baciro yang hancur diterjang gempa bumi mulai direlokasi, gagasan untuk membuat ruang publik ini muncul. Ruang publik yang bukan sekedar tempat yang secara fisik berfungsi untuk duduk dan beristirahat. Namun lebih dari itu, dari tempat atau ruang publik itu diharapkan muncul obrolan-obrolan out of the box yang justru merupakan ide-ide baru dan atau sedikit “gila” untuk mendukung gerak langkah gereja menggerakkan umat. Gagasan-gagasan seperti ini biasanya jarang sekali muncul dalam ruang-ruang rapat formal yang sarat dengan garis-garis struktural yang membatasi orang untuk berpendapat.
Saat gagasan ini muncul, pada saat yang bersamaan geliat aktivitas orang muda di Paroki Baciro juga mulai menampakkan perkembangan yang positif. Rm. Gregorius Suprayitno, Pr., pastor paroki Baciro waktu itu tampaknya menangkap fenomena ini sebagai peluang yang bagus untuk semakin memberikan tempat dan ruang gerak bagi berkembangnya kreatifitas orang muda di Baciro. Ruang publik, itulah yang dibutuhkan oleh orang-orang muda yang penuh energi dan potensi ini untuk menjadi tempat menuangkan gagasan, mencurahkan ide, dan mengaktualisasikan diri mereka sesuai gerak jamannya. Jadilah bangunan cakruk yang menjadi pilihannya.
Cakruk dipilih karena memiliki terminologi dan makna budaya Jawa yang sangat kental. Sejak jaman dulu, cakruk yang biasanya ditempatkan di sudut-sudut desa, selalu menjadi tempat untuk terjadi pertemuan informal antar warga. Di cakruk tidak pernah ada batasan tema obrolan. Semua orang bebas berpendapat, semua orang memiliki hak yang sama dan setara. Bahkan sekat jabatan dan status sosial pun melebur saat seseorang berada di cakruk dan terlibat dalam obrolan bebas yang nyaris tanpa batas. Batasnya mungkin hanya satu yaitu moralitas universal, yang dalam pergaulan masyarakat Jawa dikenal dengan kata unggah-ungguh. Orang memang bebas berpendapat dengan berbagai macam topik dan gaya bicara, namun unggah-ungguh dan tata krama tetap dipegang teguh. Bahkan orang asing pun secara leluasa bisa bergabung dalam “forum” informal itu tanpa harus melakukan pendataan kependudukan terlebih dahulu. Bebas namun tetap santun dan bertanggung jawab, itulah situasi yang terjadi di cakruk, dan itu pula yang diharapkan terjadi di beberapa cakruk yang kelak akan terpasang di halaman gereja Baciro.
Awalnya hanya ada 2 cakruk yang dibangun dari sisa-sisa potongan kayu proyek relokasi gereja. Namun dalam perkembangannya, keberadaan cakruk ini ternyata juga memancing lahirnya komunitas-komunitas umat yang baru, yang menampung berbagai aktivitas umat, baik berdasarkan bidang tugasnya, hobi, maupun karena alasan lain yang kadang tidak terbayangkan sebelumnya. Dan karena kebutuhan tempat berkumpul bagi berbagai komunitas yang lahir tersebut, akhirnya dibuat lagi 3 buah cakruk untuk melengkapi yang sudah ada.
Saat ini, sudah hampir 10 tahun sejak keberadaannya, cakruk di halaman Gereja Kristus Raja Baciro tetap berperan besar sebagai wadah komunikasi informal bagi berbagai komunitas yang ada. Beberapa komunitas dari luar Paroki Baciro bahkan juga sering memanfaatkan keberadaan cakruk ini untuk melaksanakan aktivitas mereka. Sejak lama Dewan Pastoral Paroki dan juga Pastor Paroki Gereja Baciro memilih kebijakan untuk membuka ruang-ruang publik di lingkungan Gereja Baciro bagi siapa saja yang membutuhkan. Bukan hanya untuk umat Paroki Baciro saja. Tidak heran jika dari waktu ke waktu suasana di Gereja Baciro selalu penuh dengan aktivitas, terutama orang mudanya. Keberadaan cakruk sebagai ruang perjumpaan informal antar umat terbukti mampu menjadi pemicu berbagai gagasan dan ide yang berujung pada meningkatnya aktivitas umat, utamanya orang-orang muda.
Di jaman serba digital ini, bukan saatnya lagi menempatkan orang-orang muda hanya pada posisi pelaksana fisik saja. Jika diberi kesempatan dan ruang yang memadai, orang-orang muda yang mungkin masih minim pengalaman ini bisa jadi memiliki gagasan yang mampu memberikan warna yang berbeda dalam perjalanan penggembalaan umat. Jadi yang dibutuhkan adalah ruang dan kesempatan, dan Paroki Baciro mengambil kebijakan yang tepat dengan menyediakan tempat bagi orang-orang muda itu untuk berdinamika, curah pendapat, dan berdiskusi.Tempat itu adalah cakruk, yang tampaknya sederhana namun mampu memberikan dampak yang luar biasa.
Tentu saja apa yang dilakukan di Paroki Baciro ini belum tentu memberikan dampak yang sama jika diterapkan di paroki-paroki lain. Situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan umatnya sangat berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan. Beberapa gereja bahkan tidak memungkinkan untuk didirikan bangunan sejenis cakruk, entah karena keterbatansan lahan, atau karena tata letak yang memang sulit untuk dirubah, disamping ada juga beberapa gereja yang sekaligus menjadi lokasi ziarah, sehingga keberadaan cakruk justru mengganggu aktivitas doa yang menuntut keheningan.
Intinya – umat – utamanya orang-orang muda membutuhkan ruang informal untuk saling berkomunikasi dan menuangkan ide serta gagasan yang tidak dibatasi sekat-sekat struktural dan formalitas. Proses ini kiranya menjadi sarana bagi orang-orang muda untuk belajar dan memperkaya pengalaman dan jam terbangnya dalam terlibat dalam kegiatan menggereja juga keorganisasian.